Selasa, 13 April 2010

Tipe-Tipe Penelitian Kualitatif
Tipe-tipe penelitian sebenarnya cukup sulit dan dapat memunculkan perdebatan, karena buku yang satu dengan yang lain memberikan penggolongan yang berbeda-beda mengenai tipe penelitian. Misalnya, Palys(1992) menggolongkan tipe-tipe penelitian dalam:
1) Metode-metode kontak langsung (wawancara, diskusi, dan penggunaan alat proyeksi)
2) Metode-metode observasi
3) Metode unobtrusive dan arsip (studi hasil karya, catatan harian, dan bentuk-bentuk peninggalan lain).
Ada pula penulis yang mengartikan tipe penelitian sebagai ’desain’. Punch (1998), menggolongkan tipe penelitian dalam desain penelitian kualitati, studi kasus, etnografi, dan grunded theory. Sementara Denzin danm Linclon (1994), memahami tipe-tipe penelitian dari sifat atau pendekatan penelitian dengan membagi tipe-tipe penelitian dalam antara lain: studi kasus, etnografi dan observasi partisipatif, fenomenologi, etnometodologi, praktek-praktek interpretif, metode biografi, dan penelitian klinis.
Beberapa buku lain menggolongkan ’tipe-tipe’ penelitian dari tujuan khususnya. Yaitu, metode-metode yang ada dapat dipakai dalam tipe-tipe penelitian yang berbeda. Yang dipentingkan adalah bahwa metode-metode yang dipilih akan membantu tercapainya tujuan khusus dari penelitian.
Sifat penelitian kualitatif terbuka, luwes, tipe dan metode pengumpulan datanya sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti. Tipe, antara lain:
a.) Studi Kasus
Kasus adalah fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi (bounded context), meski batas-batas fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Kasus itu dapat berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau bahkan suatu bangsa. Atau berupa keputusan, kebijakan, proses, atau suatu peristiwa khusus tertentu.


Studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe:
• Studi kasus intrinsik: penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus.
• Studi kasus instrumental: penelitian pada suatu kasus unik tertentu, dilakukan untuk memahami isu dengan lebih baik, juga untuk mengembangkan, memperhalus teori.
• Studi kasus kolektif: suatu studi kasus instrumental yang diperluas sehingga mencakup beberapa kasus. Tujuannya adalah untuk mempelajari fenomena/populasi/kondisi umum dengan lebih mendalam.
b.) Etnografi
Etnografi adalah deskripsi tentang kelompok manusia, berkembang dari penelitian antropologi mengenai kelompok masyarakat ’primitif’/eksotis. Etnografi adalah peran sentral budaya dalam memahami cara hidup kelompok yang diteliti. Budaya dalam hal ini dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku sosial yang dipelajari anggota kelompok.
Penelitian etnografis dapat dibedakan dari karakteristik:
 Deskriptif, penelitian inilah yang sering disebut sebagai penelitian Etnografi.
 Kritikal, penelitian jenis ini sering disebut sebagai etnografis kritis. Yang diteliti adalah praktek-praktek sosial dalam kaitannya dengan sistem dan budaya makro.
Metode pengumpulan data dalam penelitian etnografis:
 Kegiatan lapangan: pengumpulan data di lapangan melalui berbagai metode, menggabungkan observasi, partisipasi dan wawancara, dengan peneliti tinggal di lapangan.
 Penelitian etno-historis: pengumpulan data lebih mendasarkan diri pada studi dokumen (surat, kisah hidup, catatan harian, dll).
 Pada umumnya memerlukan waktu lama karena interpretasi budaya hadir dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda, yang memerlukan waktu lama dan penelaahan mendalam dan terkadang repetitif, untuk memastiakn bahwa respon yang tampil memang merefleksikan budaya masyarakat yang diteliti.
c.) Pendekatan Partisipatoris
Pendekatan Partisipatoris yang murni adalah PRA (Participatory Rural Appraisal). Disebut demikian karena penelitian ini mulanya berkembang untuk mengkaji masyarakat pendesaan. Dalam perkembangannya, desa dapat diartikan secara lau, yakni komuniats atau masyarakat. Penelitian partisipatoris merupakan trend masa kini. Maka dari itu banyak pihak menyatakan menggunakan metode RPA, tetapi penelitian yang dilakukan sesungguhnya tidak benar-benar partisipatoris. Akibatnya, tujuan asli dari RPA, adalah memberdayakan dan berkelanjutan menjadi tidak tercapai.
d.) Metode Unobtrusive/tidak Reaktif
Bila diartikan secara harfiah, istilah unobtrusive dapat diartikan sebagai ”tidak menonjolkan diri”, rendah hati”. Arti sebenarnya adalah bahwa metode ini bersifat non-reaktif, dalam arti, tidak mengundang reaksi khusus dari pihak yang diteliti.
Penelitian Unobtrusive, yang dimaksudkan adalah peneliti tidak bertanya, atau melakukan sesuatu untuk mendapatkan respon dari individu atau kelompok yang ditelitinya. Penelitian dilakukan dengan menyandarkan diri pada data unobtrusive, yakni:
 Jejak-jejak fisik
Jejak-jejak fisik dapat dibedakan dari: Erosi, ada suatu tanda penghilangan yang menunjukkan gambaran perilaku tertentu. Akresi, adanya akumulasi bukti-bukti fisik mengindikasikan perilaku tertentu.
 Arsip/Dokumen (Plays, 1992; Punch, 1998).
Arsip dibedakan menjadi 2: a. Arsip resmi, atau arsip yang disusun oleh lembaga publik
b. Arsip-arsip pribad

RAGAM METODE PENGUMPULAN DATA
 Observasi, penelitian pada diary/catatan harian
 Wawancara
 Focus Grouping Discussion/diskusi kelompok terfokus
 Penelitian Partisipatoris/aksi, RRa dan PRA
 Metode-metode yang berkait dengan gambar, cerita dengan lubang-lubang yang perlu diisi, penggunaan foto.
 Metode-metode dengan pemetaan dan ranking-peta mobilitas, kalender muslim, anggaran waktu.
 Metode-metode dengan drama dan bercerita – bermain peran
 Oral history dan metode-metode kisah kehidupan


METODE PENGUMPULAN DATA
Tipe Pilihan & Kemungkinan Kelebihan Keterbatasan
OBSERVASI Partisipan murni Data langsung-tanpa perantara/seleksi Hal penting mungkin diperoleh tetapi tidak dapat dilaporkan
Pengamat sebagai partisipan Peneliti dapat mencatat begitu informasi muncul; hal penting dapat teramati Peneliti tidak diterima seutuhnya dianggap pengganggu
Pengamat murni Bermanfaat untuk mengeksplorasi topik-topik Keterbatasan dalam mengupayakan rapport
WAWANCARA Mendalam Mengungkap data mendalam dan personal/sensitif Informasi terseleksi oleh informan/subjek
Terfokus Mencakupi pokok-pokok penting sesuai kebutuhan Pokok/pertanyaan peneliti mungkin tidak merefleksikan realitas subjek
Kelompok FGD Memperoleh gambaran umum peneliti memiliki pengendalian Kehadiran peneliti mungkin menyebabkan jawaban bias-tidak semua subjek sama verbal
DOKUMEN Dokumen publik/resmi Tidak reaktif, data yang sesungguhnya Informasi tidak lengkap, informasi yang penting mungkin tidak tercatat/tiadk dapat diakses materi mungkin tidak otentik atau tidak benar
Dukomen pribadi (surat, buku harian) Tidak reaktif, data yang sesungguhnya. Mengungkap kekhususan bahasa dan kata-kata subjek
MATERI AUDIO VISUAL Buku, foto, video, berbagai bentuk karya seni, program komputer, film,dll Tidak reaktif, secara tidak langsung mempresentasikan realitas mengembangkan kreativitas menginterpretasi Mungkin sulit di interpretasi, mungkin sulit diakses secara lengkap
BENTUK-BENTUK PARTISIP-ATORIS Berbagai permainan, diskusi, kerja kelompok, refleksi, drama, dll Mudah, tidak seperti penelitian, memberdayakan Untuk tujuan praktis bukan konseptual


OBSERVASI
Istilah observasi diturunkan dari bahasa Latin yang berarti “melihat” dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.
Patton menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif. Banister dkk. (1994) yang secara umum sependapat dengan uraian Patton di atas menambahkan beberapa variasi pendekatan yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut:
 Struktur Observasi, dapat bervariasi dari yang terstruktur dan mendetail sampai pada obsevariasi tidak terstruktur.
 Fokus Observasi, mulai dari dikonsentrasikan secara sempit pada aspek-aspek tertentu saja atau diarahkan secara luas pada aspek yang dianggap relevan.
 Metode dan sarana/instrumen yang digunakan, mulai dari tulisan tangan, penggunaan komputer, dipakainya lembar pengecek, stopwatch, atau alat-alat yang lebih canggih seperti perekam suara dan gambar.
 Pemberian umpan balik, diberikan kepada siapa, dan sejauh mana informasi akan disampaikan serta mengapa.

WAWANCARA
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Variasi dalam wawancara kualitatif
 Wawancara informal: proses wawancara didasarkan sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah.
 Wawancara dengan pedoman khusus: dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit.
 Wawancara dengan pedoman standart yang terbuka: dalam bentuk wawancara ini, pedoman wawancara ditulis secara rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat.
Tipe-Tipe Penelitian Kualitatif
Tipe-tipe penelitian sebenarnya cukup sulit dan dapat memunculkan perdebatan, karena buku yang satu dengan yang lain memberikan penggolongan yang berbeda-beda mengenai tipe penelitian. Misalnya, Palys(1992) menggolongkan tipe-tipe penelitian dalam:
1) Metode-metode kontak langsung (wawancara, diskusi, dan penggunaan alat proyeksi)
2) Metode-metode observasi
3) Metode unobtrusive dan arsip (studi hasil karya, catatan harian, dan bentuk-bentuk peninggalan lain).
Ada pula penulis yang mengartikan tipe penelitian sebagai ’desain’. Punch (1998), menggolongkan tipe penelitian dalam desain penelitian kualitati, studi kasus, etnografi, dan grunded theory. Sementara Denzin danm Linclon (1994), memahami tipe-tipe penelitian dari sifat atau pendekatan penelitian dengan membagi tipe-tipe penelitian dalam antara lain: studi kasus, etnografi dan observasi partisipatif, fenomenologi, etnometodologi, praktek-praktek interpretif, metode biografi, dan penelitian klinis.
Beberapa buku lain menggolongkan ’tipe-tipe’ penelitian dari tujuan khususnya. Yaitu, metode-metode yang ada dapat dipakai dalam tipe-tipe penelitian yang berbeda. Yang dipentingkan adalah bahwa metode-metode yang dipilih akan membantu tercapainya tujuan khusus dari penelitian.
Sifat penelitian kualitatif terbuka, luwes, tipe dan metode pengumpulan datanya sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti. Tipe, antara lain:
a.) Studi Kasus
Kasus adalah fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi (bounded context), meski batas-batas fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Kasus itu dapat berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau bahkan suatu bangsa. Atau berupa keputusan, kebijakan, proses, atau suatu peristiwa khusus tertentu.


Studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe:
• Studi kasus intrinsik: penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus.
• Studi kasus instrumental: penelitian pada suatu kasus unik tertentu, dilakukan untuk memahami isu dengan lebih baik, juga untuk mengembangkan, memperhalus teori.
• Studi kasus kolektif: suatu studi kasus instrumental yang diperluas sehingga mencakup beberapa kasus. Tujuannya adalah untuk mempelajari fenomena/populasi/kondisi umum dengan lebih mendalam.
b.) Etnografi
Etnografi adalah deskripsi tentang kelompok manusia, berkembang dari penelitian antropologi mengenai kelompok masyarakat ’primitif’/eksotis. Etnografi adalah peran sentral budaya dalam memahami cara hidup kelompok yang diteliti. Budaya dalam hal ini dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku sosial yang dipelajari anggota kelompok.
Penelitian etnografis dapat dibedakan dari karakteristik:
 Deskriptif, penelitian inilah yang sering disebut sebagai penelitian Etnografi.
 Kritikal, penelitian jenis ini sering disebut sebagai etnografis kritis. Yang diteliti adalah praktek-praktek sosial dalam kaitannya dengan sistem dan budaya makro.
Metode pengumpulan data dalam penelitian etnografis:
 Kegiatan lapangan: pengumpulan data di lapangan melalui berbagai metode, menggabungkan observasi, partisipasi dan wawancara, dengan peneliti tinggal di lapangan.
 Penelitian etno-historis: pengumpulan data lebih mendasarkan diri pada studi dokumen (surat, kisah hidup, catatan harian, dll).
 Pada umumnya memerlukan waktu lama karena interpretasi budaya hadir dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda, yang memerlukan waktu lama dan penelaahan mendalam dan terkadang repetitif, untuk memastiakn bahwa respon yang tampil memang merefleksikan budaya masyarakat yang diteliti.
c.) Pendekatan Partisipatoris
Pendekatan Partisipatoris yang murni adalah PRA (Participatory Rural Appraisal). Disebut demikian karena penelitian ini mulanya berkembang untuk mengkaji masyarakat pendesaan. Dalam perkembangannya, desa dapat diartikan secara lau, yakni komuniats atau masyarakat. Penelitian partisipatoris merupakan trend masa kini. Maka dari itu banyak pihak menyatakan menggunakan metode RPA, tetapi penelitian yang dilakukan sesungguhnya tidak benar-benar partisipatoris. Akibatnya, tujuan asli dari RPA, adalah memberdayakan dan berkelanjutan menjadi tidak tercapai.
d.) Metode Unobtrusive/tidak Reaktif
Bila diartikan secara harfiah, istilah unobtrusive dapat diartikan sebagai ”tidak menonjolkan diri”, rendah hati”. Arti sebenarnya adalah bahwa metode ini bersifat non-reaktif, dalam arti, tidak mengundang reaksi khusus dari pihak yang diteliti.
Penelitian Unobtrusive, yang dimaksudkan adalah peneliti tidak bertanya, atau melakukan sesuatu untuk mendapatkan respon dari individu atau kelompok yang ditelitinya. Penelitian dilakukan dengan menyandarkan diri pada data unobtrusive, yakni:
 Jejak-jejak fisik
Jejak-jejak fisik dapat dibedakan dari: Erosi, ada suatu tanda penghilangan yang menunjukkan gambaran perilaku tertentu. Akresi, adanya akumulasi bukti-bukti fisik mengindikasikan perilaku tertentu.
 Arsip/Dokumen (Plays, 1992; Punch, 1998).
Arsip dibedakan menjadi 2: a. Arsip resmi, atau arsip yang disusun oleh lembaga publik
b. Arsip-arsip pribad

RAGAM METODE PENGUMPULAN DATA
 Observasi, penelitian pada diary/catatan harian
 Wawancara
 Focus Grouping Discussion/diskusi kelompok terfokus
 Penelitian Partisipatoris/aksi, RRa dan PRA
 Metode-metode yang berkait dengan gambar, cerita dengan lubang-lubang yang perlu diisi, penggunaan foto.
 Metode-metode dengan pemetaan dan ranking-peta mobilitas, kalender muslim, anggaran waktu.
 Metode-metode dengan drama dan bercerita – bermain peran
 Oral history dan metode-metode kisah kehidupan


METODE PENGUMPULAN DATA
Tipe Pilihan & Kemungkinan Kelebihan Keterbatasan
OBSERVASI Partisipan murni Data langsung-tanpa perantara/seleksi Hal penting mungkin diperoleh tetapi tidak dapat dilaporkan
Pengamat sebagai partisipan Peneliti dapat mencatat begitu informasi muncul; hal penting dapat teramati Peneliti tidak diterima seutuhnya dianggap pengganggu
Pengamat murni Bermanfaat untuk mengeksplorasi topik-topik Keterbatasan dalam mengupayakan rapport
WAWANCARA Mendalam Mengungkap data mendalam dan personal/sensitif Informasi terseleksi oleh informan/subjek
Terfokus Mencakupi pokok-pokok penting sesuai kebutuhan Pokok/pertanyaan peneliti mungkin tidak merefleksikan realitas subjek
Kelompok FGD Memperoleh gambaran umum peneliti memiliki pengendalian Kehadiran peneliti mungkin menyebabkan jawaban bias-tidak semua subjek sama verbal
DOKUMEN Dokumen publik/resmi Tidak reaktif, data yang sesungguhnya Informasi tidak lengkap, informasi yang penting mungkin tidak tercatat/tiadk dapat diakses materi mungkin tidak otentik atau tidak benar
Dukomen pribadi (surat, buku harian) Tidak reaktif, data yang sesungguhnya. Mengungkap kekhususan bahasa dan kata-kata subjek
MATERI AUDIO VISUAL Buku, foto, video, berbagai bentuk karya seni, program komputer, film,dll Tidak reaktif, secara tidak langsung mempresentasikan realitas mengembangkan kreativitas menginterpretasi Mungkin sulit di interpretasi, mungkin sulit diakses secara lengkap
BENTUK-BENTUK PARTISIP-ATORIS Berbagai permainan, diskusi, kerja kelompok, refleksi, drama, dll Mudah, tidak seperti penelitian, memberdayakan Untuk tujuan praktis bukan konseptual


OBSERVASI
Istilah observasi diturunkan dari bahasa Latin yang berarti “melihat” dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.
Patton menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif. Banister dkk. (1994) yang secara umum sependapat dengan uraian Patton di atas menambahkan beberapa variasi pendekatan yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut:
 Struktur Observasi, dapat bervariasi dari yang terstruktur dan mendetail sampai pada obsevariasi tidak terstruktur.
 Fokus Observasi, mulai dari dikonsentrasikan secara sempit pada aspek-aspek tertentu saja atau diarahkan secara luas pada aspek yang dianggap relevan.
 Metode dan sarana/instrumen yang digunakan, mulai dari tulisan tangan, penggunaan komputer, dipakainya lembar pengecek, stopwatch, atau alat-alat yang lebih canggih seperti perekam suara dan gambar.
 Pemberian umpan balik, diberikan kepada siapa, dan sejauh mana informasi akan disampaikan serta mengapa.

WAWANCARA
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Variasi dalam wawancara kualitatif
 Wawancara informal: proses wawancara didasarkan sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah.
 Wawancara dengan pedoman khusus: dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit.
 Wawancara dengan pedoman standart yang terbuka: dalam bentuk wawancara ini, pedoman wawancara ditulis secara rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat.

Jumat, 09 April 2010

  1. Biografi Sigmund Freud

Sigmund Freud yang terkenal dengan Teori Psikoanalisis dilahirkan di Morovia, pada tanggal 6 Mei 1856 dan meninggal di London pada tanggal 23 September 1939. dia lahir dari keluarga Yahudi. Ayahnya, Jacob Freud, bekerja sebagai seorang pedagang wol yang kurang sukses. Pada saat perdagangannya mengalami kerugian di Morivia, keluarganya pindah ke Leipzig, Jerman, dan kemudian mereka pindah lagi ke Wina Austria, yaitu pada saat Freud berumur 4 tahun. Freud adalah anak sulung yang terdiri dari tiga laki-laki dan lima orang wanita dari istri kedua ayahnya. Pada saat Freud dilahirkan, ayahnya berumur 40 tahun, sementara ibunya 20 tahun.[1]Dia memiliki seorang anak yang menjadi penganut Freudianisme.

Freud menempuh pendidikannya di Universitas Wina 1873-1881, Spesialis Dokter ahli syaraf dan penyakit jiwa (Psikiatri). Tahun 1894 Freud belajar terapi histeri pada Jean Charcot di paris. Tahun 1895 ia kembali ke Wina bekerja sama dengan dr. Joseph Breuer, dengan metode asosiasi bebas. Tahun 1895 Freud bersama Breuer menulis tentang kasus-kasus histeri. Tahun 1902 ia membentuk kelompok psikologi di Wina. Tahun 1908 Freud diundang oleh George Stanley Hall ke USA dan memberi ceramah-ceramah pada pertemuan-pertemuan Dies Natalis Universitas Clark. Freud menjadi terkenal di seluruh dunia. Tahun 1909 Freud digabungi oleh Adler dan Jung. Tahun 1923 Freud kena penyakit kanker rahang dan pernah operasi sampai 30 kali.

Freud banyak menulis artikel dan buku dalam berbagai bidang ilmu, antara lain: masalah psikoanalisis dan agama, humaniora, kesenian, masalah sosial, politik, serta teori psikoanalisis. Konsep-konsep atau teori-teori yang diketengahkan, antara lain: ketidak sadaran jiwa dan libido, Struktur kepribadian, rasa cemas, Mekanisme pertahanan jiwa, kompleks terdesak, Oedipus dan Elektra, Sublimasi, Kateksis dan antikateksis, Reduksi tegangan, Identifikasi dan introyeksi, Pengusul gairah seksual yang tertekan menjadi penyebab sakit jiwa, dan Nafsu seksual sudah mulai masa kanak-kanak.[2]

  1. Struktur Kepribadian

Menurut Freud kepribadian terdiri atas 3 sistem/aspek, yaitu:

1. Das Es (id)

Das Es atau dalam bahasa Inggris “the id“ disebut juga oleh Freud sistem der Unbewussten. Freud menyebutnya dengan realistik psikis yang sebenar-benarnya, oleh karena itu Das Es itu merupakan dunia batin atau subyektif manusia dan tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia obyektif. Das Es berisikan hal-hal yang dibawa sejak lahir (unsur-unsur biologi), termasuk Instink, Das Es merupakan “reservoir” energi psikis yang menggerakkan Das Ich dan Das Ueber Ich. Energi psikis di dalam Das Es itu dapat meningkat oleh karena perangsang baik dari luar maupun dari dalam.

Apabila energi itu meningkat, maka akan menimbulkan tegangan. Dan ini menimbulkan pengalaman tidak enak. Jadi yang menjadi pedoman dalam berfungsinya das Es ialah menghindarkan diri dari ketidak enakan dan mengejar kenakan. Pedoman ini disebut freud “prinsip keenakan”.

Ada dua cara untuk menghilangkan dan mencapai kenikmatan yaitu :

a. Reflek dan reaksi otomatis, seperti bersin, berkedip

b. Proses primer, misalnya orang lapar mengucapkan makanan.

Akan tetapi jelas bahwa cara “ada” yang demikian itu tidak memenuhi kebutuhan. Orang yang lapar tidak akan menjadi kenyang dengan membayangkan makanan. Karena itu maka perlu (merupakan keharusan kodrati) adanya sistem lain yang menghubungkan pribadi dengan dunia objektif.[3]

Das Es sebagai suatu sistem dari sistem total kepribadian mempunyai:

* Ciri-ciri

a) Hakikatnya tidak disadari dan tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia kenyataan.

b) Bersifat amoral menurut ukuran sosial, sebab hanya nafsu-nafsu belaka.

c) Dikuasai atau didominasi oleh prinsip kenikmatan, mencari kepuasaan.

d) Bersifat tidak logis, irrasional.

e) Berisi semua keinginan yang ditekan, termasuk pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan.

f) Menjadi reservoir untuk hidup atau tanda libido. Libido adalah nafsu kenikmatan, dorongan kepuasaan, yakni libido untuk hidup dan mati.

* Fungsi

a) sebagai sumber atau reservior segala tenaga atau energi jiwa dan menyediakan seluruh energi atau daya untuk menjalankan sistem Ego dan sistem Superego, dalam membangun tingkah laku manusia.

b) Untuk memperoleh energi karena berhubungan erat dengan proses-proses metabolisme (jasmaniah).

* Sifat

a) Das Es bersifat asli, primitif, implusif, imaginatif, dan kodrati, yakni sebagai sistem kepribadian pembawaan. Artinya, sudah ada sejak bayi.

b) Sebagai rahim atau medan, ataupun kancah, yaitu tempat Ego dan Superego berkembang.

c) Sebagai kenyataan psikis yang sebenarnya, karena Das Es merepresentasikan dunia batin pengalaman subjektif dan tidak mengenal kenyataan objektif.

* Komponen

a) Segala sesuatu yang bersifat pembawaan, yakni nafsu-nafsu, dorongan-dorongan, dan insting-insting.

b) Kompleks-kompleks terdesak. Semuanya itu secara hakiki tidak disadari oleh individu yang bersangkutan. Kesadaran jiwa biasanya mengabaikan lapisan tidak sadar ini.

* Prinsip Kerja

a) Kerja yang efektif, mencari kenikmatan dan menolak penderitaan.

b) Reduksi tegangan agar kembali pada keseimbangan, dapat disebut prinsip reduksi untuk keseimbangan.

* Dinamisme

a) Dapat memperbesar tegangan yang menyebabkan dorongan atau nafsu-nafsu menjadi kuat.

b) Dapat memperkecil tegangan, sehingga tenaga dorongan menjadi lemah.

c) Membuat keseimbangan setelah kenikmatan tercapai.

d) Menggerakkan kompleks-kompleks terdesak untuk muncul dalam kesadaran.

e) Jadi, das Es itu memobilisir energi psikis sehingga hidup manusia berlangsung.

* Mekanisme

Usaha untuk mencapai kenikmatan atau menghindari penderitaan (mereduksi dan menyeimbangkan tegangan) sehingga das Es dapat menempuh:

a) Tindakan-tindakan refleks, yakni semua refleks termasuk perbuatan-perbuatan salah yang tidak disengaja.

b) Proses primer, yakni suatu proses untuk merasakan kepuasan atau kenikmatan itu hanya dalam imajinasi saja, dalam bayangan saja. Misalnya, proses primer yamng menyediakan khayalan makanan pada orang lapar.

c) Proses sekunder, proses pengoperan energi dan tugas kepada Ego. Jadi, yang menjalankan tugas ini adalah Ego.

d) Menggerakkan semua kompleks terdesak, untuk mencari jalan keluar.[4]

2. Das Ich (Ego)

Das ich atau dalam bahasa Inggris ”the Ego“ disebut juga sistem der Bewusstem. Verbewussten, aspek ini adalah aspek psikologi daripada kepribadian dan timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan dengan secara baik dengan dunia kenyataan.

Orang yang lapar mesti perlu makan untuk menghilangkan tegangan yang ada dalam dirinya. Hal ini berarti bahwa organisme harus dapat membedakan antara khayalan tentang makanan dan kenyataan tentang makanan. disinilah letak perbedaan yang pokok antara Das Es dan Das Ich, yaitu kalau Das Es itu hanya mengenal dunia mengenal dunia subyektif (dunia batin) maka Das Ich dapat membedakan sesuatu yang ada dalam batin dan sesuatu yang ada dalam dunia luar.

Das Ich dapat pula dipandang sebagai aspek eksekutif kepribadian. Oleh karena itu Das Ich ini mengontrol jalan-jalan yang ditempuh. Memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi serta cara-cara memenuhinya. Di dalam menjalankan fungsi ini sering kali Das Ich harus mempersatukan pertentangan antara Das Es dan Das Ueber Ich dan dunia luar. Namun haruslah selalu diingat bahwa Das Ich adalah Derivate dari Das Es bukan untuk merintanginya. Peran utamanya adalah menjadi perantara antara kebutuhan Instinktif dengan keadaan lingkungan demi kepentingan adanya organisme.[5]

* Fungsi

Sebagai transaktor, eksekutor, organisator dan regulator dalam mengelola tugas-tugas dar das Es untuk berhubungan dengan dunia nyata.

* Sifat

Realistis, rasional, etis, regulatif. Jadi, harus memfungsikan cipta, rasa, dan karsa dengan tepat.

* Komponen

Segala proses psikis yang nyata dan rasional untuk mewujudkan tindakan nyata yang dapat diterima oleh dunia objektif. Maka komponennya adalah cipta, rasa, karsa, dan performan.

* Prinsip Kerja

Realitas, rasional, dan etis.

* Dinamisme

Mengtaur tugas objektif dengan menerima, menunda atau menolak keinginan-keinginan das Es sesuai dengan kenyataan.

* Mekanisme

Melaksanakan dengan tindakan-tindakan nyata untuk mencapai tujuan yang diinginkan.[6]

3. Das Ueber Ich (Superego)

Das Ueber Ich adalah aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya, yang dimasukkan (diajarkan) dengan berbagai perintah dan larangan. Das ueber ich lebih merupakan kesempurnaan daripada kesenangan. Karena itu Das ueber ich dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian. Fungsinya yang pokok adalah menentukan apakah sesuatu itu benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak, dan dengan demikian pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat.

* Fungsi

Merintangi impuls-impuls Das Es, terutama impuls seksual dan agresif yang pernyataan sangat ditentang oleh masyarakat.

a. Mendorong Da ich untuk lebih mengejar hal-hal yang meralistis daripada yang realistis.

b. Mengejar kesempurnaan

Jadi Das Ueber Ich itu cenderung untuk menentang baik Das Ich maupun Das Es dan membuat dunia menurut konsepsi yang ideal.

Demikianlah struktur kepribadian menurut Freud, terdiri dari atas tiga aspek. Dalam pada itu harus selalu diingat bahwa aspek-aspek tersebut hanya nama-nama untuk berbagai proses psikologi yang berlangsung dengan prinsip-prinsip yang berbeda satu sama lain. dalam keadaan biasa ketiga sistem itu bekerjasama dengan diatur oleh Das Ich: kepribadian sebagai kesatuan.[7]

  1. Dinamika Kepribadian

Dari caranya memandang manusia sebagai suatu energi yang kompleks, bisa diketahui bahwa pemikiran Freud dipengaruhi oleh filsafat yang deterministik dan positivistik yang mendominasi ilmu pengetahuan abad ke-19, terutama dalam hal ini bidang fisika dan fisiologi. Menurut keyakinan Freud yang juga menjadi keyakinan para ilmuwan bidang Fisika dan Fisiologi pada waktu itu, energi yang terdapat pada manusia, yang digunakan untuk berbagai aktivitas seperti bernapas, kontraksi otot, mengingat, mengamati, dan berpikir, berasal dari sumber yang sama, yakni makanan yang dikonsumsi individu.

Menurut hukum kelangsungan energi, energi bisa diubah dari satu keadaan atau bentuk ke keadaan yang lain, tetapi tidak akan hilang dari sistem kosmik secara keseluruhan. Berdasarkan hukum ini, Freud mengajukan gagasan bahwa energi fisik bisa diubah menjadi energi psikis, dan sebaliknya. Yang menjembatani energi fisik dengan kepribadianadalah id dengan insting-instingnya.

a. Insting

Ada tiga istilah yang banyak persamaanya, yaitu insting, keinginan, dan kebutuhan. Insting adalah sumber perangsang somatis dalam yang dibawa sejak lahir, Keinginan adalah perangsang psikologis, sedangkan Kebutuhan adalah perangsang jasmani.

Freud beranggapan bahwa sumber-sumber perangsang dari luar ini memainkan peranan yang kurang penting jika dibandingkan dengan insting, orang dapat menghindarkan diri dari perangsang dari luar, tetapi tak akan dapat melarikan diri dari perangsang dai dalam.

Insting adalah sejumlah energi psikis, kumpulan dari semua insting-insting merupakan keseluruhan daripada energi psikis yang dipergunakan oleh kepribadian.[8] Insting adalah suatu berkas atau butir energi psikis atau seperti yang dikatakan oleh Freud,”Suatu ukutan tuntutan pada jiwa untuk bekerja” (1950, hl. 168).[9]

Insting memiliki 4 macam sifat, yaitu:

a) Sumber

Yang menjadi sumber insting yaitu kondisi jasmaniah, yang jadi kebutuhan.

b) Tujuan

Menghilangkan rangsangan kejasmanian, sehingga ketidak-enakan yang timbul karena adanya tegangan yang disebabkan oleh meningkatnya energi dapat ditiadakan.

c) Objek

Segala aktivitas yang menjembatani keinginan dan terpenuhinya keinginan itu. Tidak terbatas pada bendanya, akan tetapi termasuk pula cara-cara pemenuhan kebutuhan yang timbul karena insting itu.

d) Pendorong atau Penggerak

Kekuatan insting itu, tergantung pada intesitas (besar-kecilnya) kebutuhan. Misalnya: makin lapar, penggerak insting makannya makin besar.

Sumber dan tujuan insting itu tetap selama hidup, sedangkan objek serta cara-cara yang dipakai untuk memenuhi kebutuhannya selalu berubah-ubah. Karena energi psikis dapat dipindah-pindahkan, dapat digunakan dalam berbagai jala, akibatnya apabila sesuatu objek tidak dapat dipergunakan lalu dicari objek yang lain, dan apabila obyek yang kedua juga tak dapat dipergunakan, dicari lagi objek yang lain, begitu seterusnya sampai ditemukan objek yang cocok. Apabila energi insting yang dipergunakan secara tetap pada substitusi objek yang sebenarnya tidak asli, maka tingkah laku yang timbul dan didorong oleh energi itu disebut Derivat Insting (Instinct Derivative). Misalnya: pemuasan insting seksual bayi adalah dengan cara memainkan alat kelaminnya sendiri, apabila ini diubah dan anak menggantinya dengan mengisap ibu jari merupakan derivate insting seksual. Tujuannya tidak berubah yaitu kepuasan seksual.[10]

Insting-insting seksual sumbernya terdapdalam berbagai daerah (zone) tubuh, yang dinamakan daerah erogeen (daerah yang bila dirangsang menimbulkan birahi). Mulut, dubur, dan alat-alat kelamin adalah daerah-daerah erogeen yang terpenting. Mulut adalah pintu bagi makanan, walaupun merupakan satu bagian dari badan yang kalau dirangsang dengan cocok menimbulkan kesenangan sensuil. Dubur adalah alat untuk menghilagkan bahan-bahan tak terpakai, tetapi memberikan kesenangan kalau dirangsang dengan cara tertentu.[11]

Freud mengelompokkan Insting menjadi 2 kelompok. Yaitu:

    • Insting Kehidupan

Fungsi insting kehidupan atau “eros” adalah melayani maksud individu untuk tetap hidup dan memperpanjang ras (keturunan). Bentuk-bentuk utama insting ialah insting-insting makan, mnuim, dan seksual. Bentuk energi yang dipakai ini disebut “libido”. Walaupun Freud mengakui adanya bermacam-macam bentuk insting hidup, namun dalam kenyataannya yang paling diutamakan adalah insting seksual (terutama pada masa-masa permulaan, sampai sampai kira-kira tahun 1920).[12]

Yang dimaksudkan insting kehidupan oleh Freud adalah insting yang ditujukan pada pemeliharaan ego (the conservationof the individual) dan pemeliharaan kelangsungan jenis (the conservation of species). Dengan perkataan lain, insting kehidupan adalah insting yang ditujukan kepada pemeliharaan kehidupan manusia sebaagi individu maupun sebagai species. Contoh dari insting kehidupan adalah lapar, haus, dan seks.[13]

    • Insting Kematian

Insting kematian disebut juga insting merusak (Destruktif). Insting-insting ini berfungsi kurang jelas jika dibandingkan dengan insting-insting hidup. Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri, bahwa tipa orang pada akhirnya akan mati juga. Inilah yang menyebabkan Freud merumuskan bahwa “tujuan semua hidup adalah mati” (1920).[14]

Insting kematian atau “Thanatos” (kadang-kadang Freud menyebutnya naluri merusak) adalah insting yang ditujukan kepada perusakan atau penghancuran atas apa yang telah ada (organisme atau individu itu sendiri). Freud menambahkan bahwa adanya dua jenis insting yang bertolak belakang ini relevan dengan dua proses taraf biologis dari setiap organisme, yakni proses pembentukan (construction) dan proses penghancuran (destruction).

Selanjutnya, Freud menyatakan bahwa insting kematian itu pada individu ditujukan pada dua arah, yakni kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain atau ke luar diri. Naluri kematian yang diarahkan kepada diri sendiri tampil dalam tindakan bunuh diri atau tindakan mashokis (tindakan menyakiti diri sendiri), sedangkan naluri kematian yang diarahkan ke luar atau kepada orang lain mentyatakan diri dalam bentuk tindakan membunuh, menganiaya atau menghancurkan orang lain. Freud percaya, bahwa pada setiap orang, di alam tak sadarnya, terdapat keinginan untuk mati, sebuah keinginan yang selalu direpres sekuatnya oleh ego. Dan percobaan atau tindakan bunuh diri bisa terjadi apabila represi ego ini melemah.[15]

Insting-insting kehidupan dan kematian dapat bergabung satu sama lain, menetralisir masing-masing atau berganti-ganti satu sama lain. Contoh dari penggabungan naluriah adalah tidur, karena tidur merupakan suatu keadaan keredaan ketegangan serta merupakan waktu waktu dalam proses penghidupan digiatkan kembali.[16]

b. Kecemasan

Dinamika kepribadian sebagian besar dikuasai oleh keharusan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan seseorang lewat transaksi dengan objek-objek di dunia luar. Lingkungan sekitar menyediakan makanan bagi organisme yang lapar dan minuman bagi organisme yang haus, sumber pemuas kebutuhan, mengandung daerah-daerah berbahaya dan tidak aman, dapat mengancam maupun memberikan kepuasaan, mempunyai kemampuan untuk menimbulkan rasa sakit dan meningkatkan tegangan maupun memberikan kepuasan dan mereduksi tegangan, dapat mengganggu maupun memberikan rasa nyaman, serta juga ambil bagian dalam pembentukan kepribadian.[17]

Biasanya reaksi individu terhadap ancaman ketidaksenangan dan pengrusakan yang belum dihadapi membuat seseorang menjadi “cemas atau takut”. Orang yang merasa terancam umumnya adalah orang yang penakut. Kalau das Ich mengontrol soal ini, maka orang lalu menjadi dikejar oleh kecemasan atau ketakutan.

Freud mengemukakan adanya tiga macam kecemasan, yaitu:

a) Reality anxiety

Kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar dan derajat kecemasan semacam itu sangat tergantung kepada ancaman nyata (timbul dari bahaya nyata)

b) Neurotic anxiety

Kecemasan neurotik adalah rasa takut kalau-kalau instink akan keluar jalur dan menyebabkan sesorang berbuat sesuatu yang dapat mebuatnya terhukum (kekhawatiran jika id lepas kendali) à ketakutan pada hukuman)

c) Moral anxiety

Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma moral ( timbul jika individu akan/ sudah melanggar norma yang tertanam dalam dirinya/ berasal dari kata hati).[18]

Kecemasan adalah suatu pengalaman perasaan yang menyakitkan yang ditimbulkan oleh ketegangan-ketegangan dalam alat-alat intern dari tubuh. Ketegangan-ketegangan ini adalah akibat dari dorongan-dorongan dari dalam atau dari luar dan dikuasai oleh susunan urat syaraf yang otonom. Misalnya, kalau seorang menghadapi keadaan yang berbahaya hatinya berdenyut lebih cepat, ia bernafas lebih pesat, mulutnya menjadi kering dan tapak tangannya berkeringat.

Kecemasan sinonim (sama) dengan perasaan takut. Freud lebih mempergenakan istilah kecemasan daripada ketakutan, karena ketakutan biasanya dianggap dalam arti kata takut terhadap sesuatu hal dalam dunia luar.

  • Bentuk kecemasan yang terjadi di kemudian hari berasal dari trauma kelahiran dimana pada saat kelahiran, bayi diterpa bertubi-tubi oleh stimulus-stimulus dari dunia yang belum dikenalnya dan bayi belum dapat menyesuaikan diri terhadap semua stimuli tadi.
  • Bayi butuh lingkungan yang terlindungi, agar egonya mempunyai kesempatan berkembang & menguasai stimuli yang kuat dari lingkungan luar
  • Jika ego tidak dapat mengatasi kecemasan secara rasional maka kembali pada cara-cara yang tidak realistic.[19]

à MEKANISME PERTAHANAN DIRI

Untuk menghadapi tekanan kecemasan yang berlebihan, sistem ego terpaksa mengambil tindakan ekstrim untuk menghilangkan tekanan itu. Tindakan yang demikian itu, disebut mekanisme pertahanan, sebab tujuannya adalah untuk mempertahankan ego terhadap tekanan kecemasan. Dalam teori Freud, bentuk-bentuk mekanisme pertahanan adalah:

(1) Identifikasi, metode ayng dipergunakan orang dalam menghadapi orang lain dan membuatnya menjadi bagian daripada kepribadiannya. Dia belajar mereduksikan tegangannya dengan cara bertingkah laku seperti tingkah laku orang lain. Freud mempergunakan istilah identifikasi dan bukan imitasi, sebab menurut dia istilah imitasi mengandung arti peniruan yang dangkal, sedangkan dalam identifikasi apa yang ditiru menjadi bagian daripada kepribadiannya.[20]

Tiap masa mempunyai tokoh-tokoh identifikasi yang khas. Pada umumnya identifikasi ini berlangsung dengan tidak disadari, jarang dilakukan dengan maksud sadar. Seseorang tidak perlu mengidentifikasikan diri dengan semua hal yang ada pada orang lain tempat dia mengidentifikasikan diri itu, akan tetapi biasanya dia memilih hal-hal yang dalam anggapannya akan dapat menolongnya untuk mencapai sesuatu maksud. Dalam proses identifikasi terjadi jatuh bangun, trial and error, karena orang tidak pasti benar.

Obyek identifikasi itu tidak hanya terbatas pada manusia saja, tetapi dapat bermacam-macam, orang dapat mengidentifikasikan diri dengan binatang, sifat-sifat yang dikhayalkan, pikiran-pikiran abstrak dan sebagainya.

Dapat juga orang mengidentifikasikan diri karena takut. Anak mengidentifikasikan diri dengan larangan-larangan orang tua untuk menghindarkan diri dari hukuman. Identifikasi macam ini merupakan dasar pembentukan das Ueber Ich.

(2) Displacement: Mengalihkan pada objek lain yang lebih memungkinkan. Proses dimana energi disalurkan kembali dari satu obyek ke obyek lain. Sumber dan tujuan dari insting tetap sama jika energi itu dipindahkan, yang berubah itu hanyalah obyek yang merupakan tujuan. Obyek pengganti dapatdapat memberi pemuasan sebesar obyek aslinya, mkinjauh pemindahan obyek itu dari obyek asli, maka makin sedikitlah tegangan yang dapat direduksikan.

Ada dua alasan penting yang menyebabkan Displacement, yaitu:

a. Kemiripan obyek pengganti terhadap obyek aslinya. Derajat persamaan antara obyek yang asli dengan penggantiya, atau apa saja yang dapat dianggap sama, jadi batas-batas, sampai dimana obyek-obyek itu dapat saling di-indentifikasikan.

b. Sanksi-sanksi dan larangan-larangan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi arahi dari pemindahan dengan mengizinkan beberapa pemilihan obyek tertentu dan melarang yang lainnya. Masyarakat menempatkan pembatasan-pembatasan terhadap beberapa macam pemilihan obyek tetapi ia biasanya. Menyediakan pengganti-penggantinya yang memuaskan. Kalau masyarakat gagal untuk menyediakan pengganti-pengganti yang pantas, orang-orang cenderung untuk memakai obyek-obyek yang dilarang itu.

(3) Sublimasi; pemindahan obyek yang menghasilkan hasil kebudayaan yang tinggi. Sublimasi tidak berakhir dengan kepuasaan yang sempurna, selalu ada ketegangan tetap yang tidak dapat diredakan oleh pemilihan obyek yang disulimasikan. Ini suatu cara untuk mengalihkan energi seksual kesaluran lain, yang secara sosial umumnya bisa diterima.

Karena sublimasi juga tidak dapat memberikan kepuasaan yang sempurna, maka selalu akan ada sisa tegangan yang tak terpuaskan. Selanjutnya, tegangan tersebut mungkin akan muncul atau menjelma dalam bentuk kegelisahan atau gangguan syaraf, suatu keadaan yang oleh Freud ditafsirkan sebagai pembayaran yang harus diberikan oleh manusia sebagai makhluk beradab.

(4) kompensasi, Keadaan dimana seseorang menerima suatu pengganti dari suatu obyek untuk obyek tujuan yang asli. Freud menunjukkan, bahwa seseorang sebenarnya tidak pernah meninggalkan cathexis-obyek yang asli. Kaalu orang gagal untuk menemukan pengganti yang memuaskan sama sekali, ia atau meneruskan pencariannya atau menyesuaikan dirinya dengan sesuatu yang terbaik sesudahnya.

(5) Represi; Merupakan sarana pertahanan yang bisa mengusir pikiran serta perasaan yang menyakitkan dan mengancam keluar dari kesadaran. Represi merupakan proses penekanan dorongan-dorongan ke alam tak sadar. Dapat artikan juga sebagai proses “penguburan” pikiran dan perasaan yang mencemaskan ke alam tak sadar. Represi merupakan mekanisme pertahanan dasar yang terjadi ketika memori, pikiran atau perasaan yang menimbulkan kecemasan ditekan keluar dari kesadaran oleh anti-chatexis. Orang cenderung merepres keinginan atau hasrat yang apabila dilakukan dapat menimbulkan perasaan bersalah dan konflik yang menimbulkan rasa cemas atau merepres memori yang menyakitkan.

Sekali penekanan itu telah terbentuk, maka akan sukarlah untuk dihapuskan, orang harus meyakini dirinya kembali, bahwa bahaya tidak ada, tetapi dia tidak akan memperoleh keyakinan kembali yang demikian itu sebelum penekanannya dihilangkan, sehingga dia dapat mentest kenyataan. Ada dua macam represi:

a. Represi pokok: penghalang-penghalang yang tertanam di dalam diri dan bertanggung jawab terhadap dipertahankannya sebagian besar dari isi-isi id supaya tetap tidak sadar. Represi pokok mencegah suatu pemilihan obyek secara naluriah yang tidak pernah sadar untuk menjadi sadar.

b. represi chas (yang kemudian secara sederhana akan disebut represi saja) memaksa ingatan yang berbahaya, pikiran, atau pengamatan supaya ke luar dari kesadaran dan mendirikan suatu penghalang terhadap setiap bentuk dari pelampiasan motoris.

(6) Proyeksi; Proyeksi merupakan pengalihan pikiran, perasaan atau dorongan diri sendiri kepada orang lain. Dapat juga diartikan sebagai mekanisme pengubahan kecemasan neurotik dan moral dengan kecemasan realistik. Proyeksi adalah alat pertahanan yang sangat lumrah, karena sejak masa yang sangat muda kita didorong untuk mencari sebab-sebab dri perbuatan kita dalam dunia luar dan dicegah untuk menyelidiki dan menganalisa motif-motif kita sendiri. Sifat yang khusus dari proyeksi adalah bahwa subjek-subjek dari perasaan itu, yaitu orang itu sendiri, dirubah. Ini berarti memantulkan sesuatu yang sebenarnya terdapat dalam diri kita sendiri ke dunia luar. Proyeksi ini bertujuan untuk mengurangi pikiran atau perasaan yang menimbulkan kecemasan.

(7) Fiksasi: merupakan mekanisme yang memungkinkan orang mengalami kemandegan dalam pekembangannya, karena merasa cemas untuk melangkah ke perkembangan berikutnya. Fiksasi adalah berhenti di satu fase tertentu karena fase berikutnya menimbulkan kecemasan.

Pada perkembangan yang normal, kepribadian akan melewati fase-fase yang sedikit banyak sudah tetap dari lahir sampai mencapai kedewasaan. Akan tetapi tiap langkah baru dalam perkembangan mengandung atau membawa sejumlah frustasi dan ketakutan dan apabila hal ini menjadi terlalu besar, maka perkembangan yang normal mungkin terganggu, untuk sementara atau untuk seterusnya.

(8) Regresi; merupakan pengulangan kembali tingkah laku yang cocok bagi tahap perkembangan atau usia sebelumnya (perilaku kekanak-kanakan). Tujuan regresi adalah untuk memperoleh bantuan dalam menghadapi peristiwa yang traumatik. Regresi yaitu berbalik kembali kepada prilaku yang dulu pernah mereka alami.

Regresi sangat erat hubungannya dengan fiksasi. Orang yang mendapat pengalaman traumatis kembali kepada fase perkembangan yang lebih awal, yaitu fase perkembangan yang telah dilewatinya. Jalan regresi biasanya ditentukan oleh fiksasi yang telah dialami lebih dahulu. Pada umumnya fiksasi dan regresi adalah keadaan nisbi, artinya seseorang jarang benar-benar mengalami fiksasi dan regresi. Lebih tepat kalau dikatakan bahwa kepribadian cenderung untuk melingkupi infantilisme. Fiksasi dan regresi inilah yang menyebabkna ketidaksamaan dalam perkembangan kepribadian.

(9) Rasionalisasi; merupakan penciptaan kepalsuan (alasan-alasan) namun dapat masuk akal sebagai upaya pembenaran tingkah laku yang tidak dapat diterima. Rasionalisasi terjadi apabila individu mengalami kegagalan dalam memenuhi kebutuhan, dorongan atau keinginannya. Ini merupakan cara beberapa orang menciptakan alasan yang “masuk akal” untuk menjelaskan disingkirnya ego yang babak belur.

(10) Reaction Formation; merupakan reaksi pembentukan sikap dan tingkah laku dengan sikap dan tingkah laku yang berlawanan. Mekanisme ini bertujaun untuk menyembunyikan pikiran dan perasaan yang dapat menimbulkan kecemasan. Biasanya ditandai dengan sikap atau perilaku yang berlebihan atau bersifat kompulsif. Pembentukan reaksi adalah menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan melawannya dalam kesadaran.[21]

  1. Tahap-tahap Perkembangan Kepribadian

Makan perkembangan kepribadian menurut Freud adalah “Belajar tentang cara-cara baru untuk mereduksi ketegangan dan memperoleh kepuasan”. Ketegangan terjadi bersumber kepada empat aspek, yaitu sebagai berikut:

a) Pertumbuhan fisik

b) Frustasi

c) Konflik

d) Ancaman

Teori perkembangan Freud didasarkan kepada pengalamannya dalam menganalisis masalah yang dihadapi para pasiennya. Adapun fase-fase perkembangan kepribadian menurut Freud, ialah:

§ Fase oral atau mulut (0 – 1 thn)

Tahap oral adalah periode bayi yang masih menetek yang seluruh hidupnya masih bergantung kepada orang lain. Karena mulut menjadi sumber kenikmatan erotis, maka anak akan menikmati peristiwa menetek pada ibunya dan juga memasukkan segala jenis benda ke dalam mulutnya, termasuk jempolnya sendiri. Ketidakpuasaan pada masa ini dapat menimbulkan gejala regresi yaitu berbuat seperti bayi atau anak yang sangat bergantung kepada orang tuanya atau banyak tuntutan yang harus dipenuhi serta gejala perasaan iri hati. Ketidakpuasaan ini akan berdampak kurang baik bagi perkembangan kepribadian anak, seperti: merasa kurang aman, selalu bergantung kepada orang lain, selalu meminta perhatian orang alin (egosentris).

Menurut Freud, fiksasi pada tahap ini dapat membentuk sikap obsesif yaitu makan dan merokok pada kehidupan berikutnya.

§ Fase anal atau dubur (1 – 3 thn)

Anak akan mengalami ketegangan, ketika duburnya penuh dengan ampas makanan dan peristiwa buang air besar yang dialami oleh anak merupakan proses pelepasan ketegangan dan pencapaian kepuasan, rasa senang atau rasa nikmat. Peristiwa ini disebut erotik anal. Setelah melewati masa penyapihan, anak pada tahap ini dituntut untuk mulai menyesuaikan diri dengan tuntutan orang tua, seperti hidup bersih dan tidak mengompol, tidak buang air sembarangan.

Ada beberapa kemungkinan cara orang tua memberikan latihan kebersihan, yaitu: sikap keras, sikap selalu memuji dan sikap pengertian. Ketiga cara tersebut memberikan dampak tersendiri terhadap perkembangan anak.

§ Fase phalik atau dzakar (3-5 thn)

Pada usia ini anak mulai memperhatikan atau senang memainkan alat kelaminnya sendiri. Pada masa ini terjadi perkembangan berbagai aspek psikologis, terutama yang terkait dengan iklim kehidupan sosiopsikologis keluarga atau perlakuan orang tua kepada anak.

§ Fase latensi (6-12 thn)

Tahap ini merupakan masa tenang seksual, karena segala sesuatu yang terkait dengan seks dihambat atau direpres. Dengan kata lain masa ini adalah periode tertahannya dorongan-doronagn seks dan agresif. Mereka belum mempunyai perhatian khusus kepada lawan jenis sehingga dalam bermain pun anak laki-laki akan berkelompok dengan laki-laki, begitu pula anak perempuan.

§ Fase genital (12-13 thn)

Masa ini ditandai dengan matangnya orga reproduksi anak. Pada periode ini, insting seksual dan agresif menjadi aktif. Anak mulai mengembangkan motif untuk mencinati orang lain, atau mulai berkembangnya motif altruis (keinginan memperhatikan kepentingan oranga lain).

Masa ini ditandai juga dengan proses pengalihan perhatian, dari mencari kepuasaan atau kenikmatan sendiri kepada kehidupan sosial orang dewasa dan berorientasi kepada kenyataan atau sikap altruis.[22]

  1. Implikasi Teori Kepribadian Psikoanalisis terhadap Bimbingan & Konseling

Psikoanalisis dibangun berdasarkan kinerja freud dalam dalam membantu pasien yang mengalami masalah kejiwaan. Oleh karna itu, psikoanalisis dipandang juga sebagai pendekatan atau metode terapi (bimbingan dan konseling). Ada beberapa teori tentang psikoanalisis terhadap bimbingan dan konseling yaitu sebagai berikut:

1. Tujuan dan bimbingan konseling

· Untuk memperkuat ego, sehingga mampu mengontrol dorongan-dorongan instink

· Menyatakan kemampuan individu dalam bercinta dan bekerja

2. Metode bimbingan dan konseling

Yang menjadi focus utama bimbingan dan koseling adalah represi yang tidak terpecahkan, dengan cara menganalisis pengalaman masa lalu pasien. Terapi psikoanalisis tradisional, proses treatmentnya sangat memakan watu yang lama. Biasanya pasien diminta datang empat sampai lima kali dalam satu minggu. Dan memakan waktu selama dua atau tiga tahun.

Posisi pasien denga konselor tidak berhadap-hadapan, tetapi pasien terbaring diatas dipan dan diintruksikan untuk rileks, sementara analis (konselor ) duduk dikursi yang berada di samping pasien. Namun cara ini, oleh para analisis modern sudah ditnggalkan. Pasien tidak lagi diminta berbaring, tetapi duduk dikursi di samping meja. Para analisis dalam membantu pasien menggunakan beberapa metode.

· Assosiasi bebas

Merupakan teknik utama psiko analisis. Pasien diminta untuk mengatakan apasaja yang berada dalam pikirannya (perasaannya). Tidak menjadi masalah, apapun yang dikatakan misalkan kata-kata cabul atau kata-kata yang tidak penting. Teknik ini memang tidak mudah dan sangat memakan waktu yang lama.

· Analisis mimpi

Teknik ini sangat terkait dengan assosiasi bebas. Ketika pasien tidur, ego menjadi lemah untuk mengontrol dorongan-dorongan id atau hal-hal yang tidak disadari. Akirnya dorongan-dorongan tersebut dapat mendesak ego untuk memuaskannya. Proses pemuasan itu dilambangkan dalam bentuk mimpi. Untuk menelusuri akar masalah yang dialami pasien. Maka para analis dapat mengungkapkannya dengan cara menganalisis mimpi pasien tersebut. Dalam hal ini, pasien dimimta untuk menceritakan isi mimpinya kepada konselor.

· Interpretasi

Setelah masalah pasien diketahui secara jelas, kemudian konselor mulai menginterpretasi masalah asien tersebut. Melalui interpretasi dari konselor ini, pasien menjadi terdorong untuk mengakui ketidak sadarannya, baik terkait dengan pikiran, kegiatan, atau keinginan-keinginannya.

· Resistensi

Memperoleh wawasan tidaklah mudah, karena masalah-masalah neurotic yang dialami pasien dapat juga menimbilkan sikap resisten pasien terhadap proses terapeutik.

· Transferensi

Terjadi ketika pasien merespon analis (konselor) sebagai seorang figure pada waktu kecil. Respon ini bias positif, dan juga bisa negative tergatung pada suasana emosional yang dialaminya.[23]

  1. Validasi Empiris atas Konsep-konsep Psikoanalisa

Dalam dunia keilmuan, suatu teori atau konsep-konsep dipandang valid apabila hipotesis-hipotesis yang berasal dari teori tersebut dapat dibuktikan secara empiris atau lulus dari pengujian ilmiah. Validasi empiris atas psikoanalisa, diketahui bahwa, selama beberapa tahun setelah kematian Freud, para ahli psikologi kepribadian hampir seluruhnya mengabaikan pemeriksaan objektif dan sistematis atas konsep-konsep pokok psikoanalisa. Penyebab utamanya adalah kenyataan bahwa psikoanalisa berasal atau dikembangkan dari kegiatan terapi (yang dijalankan oleh Freud).

Ketika Saul Rosenzweig, seorang ahli psikologi Amerika, pada tahun 1941 menulis surat kepada Freud mengenai penyelidikan laboratoriumnya atas konseprepresi, sebagai balasannya Freud menegaskan bahwa konsep-konsep psikoanalisa berlandaskan pada memerlukann pemeriksaan eksperimental yang berdiri sendiri.

Silverman mengajukan beberapa kesulitan utama dari penggunaan data klinis sebagai landasan untuk mendukung teori psikoanalisa, yakin:

a. Laporan psikoanalisa biasanya tidak dilengkapi dengan mattial klinis untuk menguji dasar-dasar dari kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya.

b. Material semacan itu jarang mengacu kepada prosedur penaksiran tersusun yang dapat disalin atau diulang.

c. Kurang memperhatikan pemeriksaan dalam pengumpulan dan evaluasi data, yang mutlak perlu untuk memperkecil efek-efek simpangan.

Perangkap utama yang dihadapi oleh para ahli yang berminat menguji teori Freud adalah tidak adanya jalan untuk menjawab observasi-observasi klinis dalam eksperimen yang terkontrol. Hambatan berikutnya dalam menentukan validasi teori psikoanalisa itu adalah kurangnya definisi operasionaldalam konsep-konsep teori Freud, yakni konsep-konsep psikoanalisa itu kebanyakan didefinisikan dalam cara atau bentuk yang menghambat pengasalan dan pengujian hipotesis-hipotesis.

Dan akhirnya, patut dicatat bahwa psikoanalisa memiliki cara melihat ke belakang. Artinya, psikoanalisa itu lebih cocok untuk menerangkan kejadian-kejadian yang dialami individu di masa lampau ketimbang untuk meramalkan kejadian-kejadian di masa datang.

Berikut beberapa penelitian yang dilakukan dalam rangka menguji validitas konsep-konsep psikoanalisa:

1. Penelitian mengenai Represi

Represi adalah konsep kunci utama bagi sebagian besar psikoanalisa, dan satu konsep Freud yang paling banyak diteliti dibanding dengan konsep-konsep yang lainnya. Aspek utama dari Represi adalah bahwa lupa atau kelupaan muncul sebagai fungsi dari asosiasi-asosiasi yang tidak menyenangkan.

Zeller (1950) dan worchel (1953) telah melakukan penelitian mengenai represi melalui eksperimen laburatorium. Dalam eksperimennya kedua peneliti ini menggunakan dua kelompok subjek yang terdiri dari kelompok eksperimental dan kelompok kontrol. Pada tahap pertama, kedua kelompok tersebut disuruh mempelajari sejumlah kata, dan kemudian diminta untuk mengungkapkan kembali kata-kata yang telah dipelajarinyaitu. Pada tahap kedua, kelompok eksperimental dihadapkan kepada situasi yang menghambat ego, uakni diberi tes kepribadian dan menerima umpan balik yang negatif mengenai hasil tes kepribadian tersebut. Kelompok kontrol juga diberi semacam tes kepribadian, tetapi umpan balik yang diberikan kepada mereka yang sifatnya netral. Selanjutnya, kedua kelompok untuk kedua kalinya diminta mengungkapkan kembali kata-kata yang telah mereka pelajari. Pada tahap ketiga, kelompok eksperimental diberi tahu bahwa mereka telah menerima umpan balik yang keliru. Pemberitahuan ini ditujukan agar kelompok eksperimental tersebut kecemasannya berkurang, dan kemudian mereka dites kembali untuk mengungkapkan kata-kata yang telah dipelajari.

Studi yang lebih mutakhir yang dilakukan oleh Glukcksberg dan King (1967) mengikuti prosedur yang sama, tetapi treatment-nya berbeda dengan yang dilakukan oleh dua peneliti yang disebut terdahulu. Glucksberg dan King dalam penelitiannya menggunakan penelitiannya menggunakan treatment berupa kejutan listrik. Hasil yang diperoleh Glucksberg dan King sama dengan yang diperoleh Zeller dan Worchel.

2. Kompleks kastrasi dan penis Envy dalam mimpi

Hall dan Van de Castle telah melaporkan suatu penelitian yang dilakukan berdasarkan teori Freud mengenai mimpi. Mimpi itu dipandang sebagai “jalan istimewa menuju ketaksadaran”, para peneliti beranggapan bahwa manifestasi-manifestasi dari kompleks kastrasi (ketakutan dikebiri) bisa dicari dan ditemukan dalam mimpi pada laki-laki. Sedangkan perempuan lebih banyak mengalami mimpi yang mengekspresikan penis envy.

Hipotesis tersebut diuji dengan jalan menginstruksikan kepada sejumlah subjek penelitian yang terdiri dari sekelompok mahasiswa pria dan wanita untuk mencatat dan melaporkan mimpi mereka. Berdasarkan laporan mimpi-mimpi subjek, Hall dan Van de Castle menemukan bahwa isi mimpi kelompok mahasiswa pria lebih banyak mengekspresikan ketakutan dikebiri ketimbang penis envy. Sedangkan isi mimpi kelompok mahasiswi lebih banyak mengekspresikan penis envy dan keinginan dikebiri. Penemuan ini dianggap mendukung validitas konsep kompleks kastrasi dari Freud.

3. Humor dan tertawa

Humor dan tertawa selalu dipandang sebagai gambaran yang unik dan menonjol dari pengalaman manusia. Dalam bukunya yang berjudul “ Jokes and Their Relation to the Unconcious” (1905), menyatakan bahwa impuls-implus seksual atau agresivitas yang dihambat biasanya disalurkan melalui aktivitas atau tindakan yang secara sosial bisa diterima, yakni salah satu di antaranya adalah aktivitas humor. Freud juga percaya bahwa kenikmatan yang diperoleh dari humor berkaitan erat dengan pengurangan tegangan atau kecemasan.

Berdasarkan pendapat Freud di atas, Shurcliff membuat hipotesis yang berbunyi: “Semakin besar kecemasan yang harus diatasi subjek, maka akan semakin besar pula respon subjek tesebut terhadap humor”. Shurcliff kemudian merancang penelitian untuk menguji hipotesis yang dibuatnya itu dengan prosedur penelitian sebagai berikut.

Pertama, membagi subjek penelitian ke dalam tiga kelompok subjek. Kemudian dibawa ke dalam laboratorium dan dihadapkan kepaad tiga buah kandang, yakni kandang yang pertama dan kedua berisikan tikus yang bisa dilihat dengan jelas oleh para subjek, sementara kandang yang ketiga, yang terletak di belakang kandang yang pertama dan kedua, isinya tidak bisa dilihat. Selanjutnya kepada ketiga kelompok subjek penelitian tersebut peneliti memberikan instruksi yang berbeda tentang tugas yang harus mereka lakukan. Kepada kelompok subjek pertama, peneliti memberitahukan bahwa tugas mereka adalah menangkap tikus yang ada dalam kandang ketiga dan memegangnya selaam lima detik. Lalu, peneliti mengatakan bahwa tikus yang ada dalam kandang ketiga itu jinak. Kepada kelompok subjek kedua diberitahukan bahwa tugas mereka adalah mengambil darah tikus yang ada dalam kandang ketiga. Peneliti memberikan instruksinya kepada kelompok subjek kedua, bahwa pengambilan darah tikus tersebut mudah dan tidak berbahaya. Sedangkan kepada kelompok subjek ketiga, peneliti menginstruksikan bahwa tugasnya adalah mengambil darah tikus dari kandang ketiga dan memasukkannya ke dalam botol kecil yang telah disediakan. Kepada kelompok ketiga, diinstruksikan bahwa pengambilan darah tikus yang harus mereka lakukan cukup berbahaya, dan karenanya harus hati-hati. Dengan demikian berdasarkan instruksi yang berbeda itu, Shurcliff berhasil mengkondisikan tiga kelompok subjek penelitian dengan tingkat kecemasan yang berbeda.

Ketika perintah itu dilaksanakan, yang mereka temukan ternyata hanya tikus mainan. Kemudian semua subjek diberi kuesioner untuk menerangkan atau menanggapi lelucon yang baru saja mereka hadapi berikut kecemasan yang mereka alami sebelumnya. Berdasarkan jawaban subjek, Shurcliff menemukan bahwa subjek yang tingkat kecemasannya tinggi menanggapi lelucon dengan humor yang lebih besar daripada subjek yang tingkat kecemasannya rendah. Dengan demikian, penemuan Shurcliff tersebut mendukung validitas konsep humor Freud.

4. Pemilihan anak laki-laki versus anak perempuan

Menurut Freud, semua wanita di tempat atau lingkungan budaya berkeinginan anak laki-laki sebagai anak Menurut Freud, semua wanita di tempat atau lingkungan budaya berkeinginan anak laki-laki sebagai anak pertama mereka. Logikanya, bagi wanita memiliki anak laki-laki itu merupakan simbol dari pemilikan penis juga merupakan penyelesaian akhir dari Electro complex.

Konsep psikoseksual Freud tersebut telah diteliti oleh Hammer dengan menggunakan sejumlah mahasiswa yang belum dan telah menikah. Kepada semua semua subjek diajukan pertanyaan :”Jika anda mengetahui dengan pasti bahwa anda hanya akan memiliki seorang anak, anak laki-laki atau perempuan yang anda inginkan?” hasilnya adalah, 70% subjek wanita nonpelajar menginginkan anak perempuan, 78% mahasiswi yang belum menikah dan 73% mahasiswi yang telah menikah menginginkan anak laki-laki. Meskipun data dari penelitian bisa dihasilkan, kesimpulan-kesimpulan teoritis yang relevan dari data tersebut sulit diperoleh.

Menurut para psikoanalisa, wanita menginginkan anak laki-laki juga tetap merupakan penyelesaian akhir dari electro complex, bukan merupakan tekanan dari keluarga, harapan kultural, atau alasan-alasan lainnya.


[1] Prof. dr. Syamsu Yusuf LN, M.Pd. dan Dr. A. Juntika Nurihsan, M.Pd. Teori Kepribadian, 2008. hal. 38

[2] Ki. Drs. Rbs. Fudyartanta, s. Psi, Psikologi Kepribadian Freudianisme, 2005, hal. 77-79

[3] Drs. Agus Sujanto dkk, Psikologi Kepribadian, 1997, hal. 60

[4] Opcit, hal. 103-108

[5] Opcit, hal. 60-61

[6] Opcit, hal. 108-109

[7] Opcit, hal. 61-62

[8] Drs. Sumadi Suryabrata, B.A, M.A., Eds.,Phd, Psikologi Kepribadian, 1982, hal. 129

[9] Calvin S. Hall, Teori-teori Psikodinamik (klinis), 1993,Hal. 70

[10] Opcit, hal. 129-131

[11] S. Freud-C. S. Hall, Suatu pengantar ke dalam ilmu jiwa Sigmund Freud, 1954, hal. 80

[12] Opcit, hal. 132

[13] E. Koeswara, Teori-teori Kepribadian, 1991, hal. 38

[14] Logcit, hal. 132

[15] Opcit, hal. 39-40

[16] S. Freud-C. S. Hall, Suatu pengantar ke dalam ilmu jiwa Sigmund Freud, 1954, hal. 81

[17] Logcit, hal. 80

[20] http://blog-indonesia.com

[21] Prof. dr. Syamsu Yusuf LN, M.Pd. dan Dr. A. Juntika Nurihsan, M.Pd. Teori Kepribadian, 2008. hal 53-56

[22] Ibid, hal 58-64

[23] Ibid, hal. 66-68